8. Jadilah Karyawan Pendaki Karier!

16 Maret 2013

“Kayu yang baik tidak tumbuh dengan mudah. Semakin kencang anginnya, semakin kuat pohon-pohonnya.”  ~ J. Willard Marriot

Mengapa Cepat Redup?karyawan-8

Kantor saya, beserta grupnya, bersedia membayar hampir setengah milyar rupiah kepada sekelompok orang yang memberi motivasi – ada pula yang menyebut kegiatannya sebagai edutainment – untuk tiga kegiatan setahun, dalam rangka mengompori semangat para karyawan.

Kami memang tidak sendirian. Di luar sana, perusahaan-perusahaan lain juga membelikan tiket para karyawannya untuk menghadiri seminar dan pelatihan sejenis. Tak heran bila pelatihan atau seminar seperti itu – yang oleh seorang rekan saya diplesetkan menjadi latihan nyanyi-nyanyi dan berteriak keras “Pagi!” meski sang motivator menyapa “Selamat Siang!”— tumbuh menjadi mesin uang bagi para motivator. Dan pemompaan semangat oleh para motivator membuat perusahaan jadi kecanduan untuk lagi, lagi dan lagi mengirim para karyawannya ke kegiatan seperti itu.

Para motivator memompa semangat kami melalui kata-kata dan kalimat memukau. Sesekali mereka mengutip kalimat-kalimat bijak. Kami dilatih pula melalui beberapa permainan dan kegiatan yang menggabungkan keterampilan fisik dan kecerdasan emosional (EQ). Program-program itu berakhir dengan semangat menyala-nyala pada dada kami. Maka, begitu pulang dari pelatihan itu, kami seperti tak sabar untuk berharap semua hari adalah Senin, yakni hari ketika semangat kerja berada di puncak.

Tapi sebulan berselang, semangat mulai kendor kembali. Semua hari inginnya Kamis. Tiga bulan kemudian, semangat kerja menukik. Kembali ke titik nadir. Semua hari kalau bisa Sabtu. Kalau bisa ada tiga-empat hari Minggu dalam seminggu. Kantor mengirim kami kembali ke pelatihan motivasi. Semangat kami menyala lagi. Lalu meredup kembali. Dikirim lagi. Semangat menyala lagi. Tapi kemudian meredup lagi. Dan seterusnya.

Sindrom Kepintaran Sesaat

Ada apa? Jawaban yang saya temukan bermuara pada ketidaksesuaian antara semangat menyala sehabis dipompa di pihak karyawan yang tak diikuti dengan konsistensi harapan yang disediakan tempat kerja.

“Ah, kalau semangat harus membara tapi gaji tak juga ikut menyala, pilih yang remang-remang saja, deh,” komentar seorang rekan, setengah bulan setelah pelatihan.

Motivator memompa semangatnya. Kenyataan di tempat kerja mengempiskannya kembali.

Sebuah pendapat mengkaitkan hal di atas dengan fenomena kepintaran sesaat (temporary smarter syndrome). Artinya, karyawan menjadi pintar setelah mengikuti pelatihan, namun kepintaran itu tidak berlangsung lama. Di dalam kelas, ia mengalami siklus: bingung, mengerti, memahami, lalu menjadi pintar. Tapi di luar kelas, tempat keberhasilan pelatihan harus diterapkan, kepintaran itu menguap dalam waktu singkat. Pendapat ini dikemukakan Darmin A. Pella dari AIDA Consultant.

Menurutnya, fenomena kepintaran sesaat terjadi karena kepintaran hasil pelatihan tidak mewujud menjadi perilaku lalu menjadi kebiasaan, bertransformasi menjadi karakter dan mengubah pribadi peserta pelatihan serta wadah institusinya. Karena tidak mengalami siklus di atas, akibat sindrom kepintaran sesaat, hasil pelatihan tidak sanggup meningkatkan kinerja tempat kerjanya secara signifikan.

Sidrom kepintaran sesaat, kata konsultan dari perusahaan jasa konsultasi, pelatihan dan asesmen, sebagaimana dipublikasikan dalam situs www.aidacosultant.com, terjadi karena pelatihan tidak terkait dengan sistem di tempat kerjanya. Yang ia maksudkan adalah kerangka yang lebih besar, the working environtment, yakni suatu sistem kerja yang sangat berpengaruh pada karyawan peserta pelatihan. Sistem tersebut mewakili ada-tidaknya reinforcement endoser, penguat, atas penerapan seluruh pengetahuan, keterampilan atau sikap baru karyawan setelah mengikuti pelatihan.

 Jadilah Climber!

Jawaban lain membuka kenyataan bahwa pemompaan semangat seperti itu, yang dengan motivasi besar pun diharapkan bisa mengubah hidup seseorang, ternyata meredup atau padam dengan cepat. Karena pilihannya pada “semangat yang dipompa.” Bukan pada “bagaimana meningkatkan seseorang mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapi.” Atau bukan dengan meningkatkan kecerdasan adversitas (keadaan yang sulit). Ini istilah yang oleh Paul G. Stoltz, Ph.D disebut dengan Adversity Quotient (AQ). AQ mengukur kemampuan seseorang mengatasi kesulitan. Kabar baiknya, AQ bisa ditingkatkan secara dramatis dan dengan cepat. AQ dapat diperkaya dan diperkuat.

Menurut Stoltz dalam bukunya, Aversity Quotient, agaknya bukan kecerdasan intelektual (IQ) atau EQ yang menentukan sukses seseorang, meski keduanya memainkan suatu peran. Mengapa ada orang yang mampu bertahan, sementara yang lain, mungkin sama-sama brilian dan pandai bergaul, gagal, dan masih ada lagi lainnya yang menyerah? AQ-lah jawabannya. “AQ-lah,” kata Stoltz, “Yang menggerakkan tujuan hidup Anda ke depan, apa pun tujuan itu.”

Kata Stoltz, kita dilahirkan dengan satu dorongan inti yang manusiawi untuk terus mendaki. Jika kehidupan dimisalkan sebuah pendakian gunung, manusia dikelompokkan menjadi mereka yang mendaki (climbers), mereka yang berkemah (campers), dan mereka yang berhenti (quitters). Pengelompokkan itu didasarkan pada perbedaan respons terhadap pendakian (kesulitan).

Climbers seperti kelinci pada iklan batere Energizer di pegunungan. Climbers menyambut baik tantangan, bisa memotivasi diri sendiri, memiliki semangat tinggi, dan berjuang untuk mendapatkan yang terbaik dari hidup. Mereka katalisator tindakan, dan cenderung membuat segala sesuatunya terjadi. Climbers selalu menemukan cara membuat segala sesuatunya terjadi. Climbers menempuh kesulitan-kesulitan hidup dengan keberanian dan disiplin sejati.

Campers masih menunjukkan inisiatif, sedikit semangat dan beberapa usaha. Menganggap sukses sebagai tujuan, campers melepaskan kesempatan untuk maju. Campers tidak menggunakan seluruh kemampuannya. Yang dilakukan hanya untuk membuatnya tetap dipekerjakan. Mereka akan kerja keras apa pun yang bisa membuatnya merasa lebih aman dibandingkan yang telah mereka miliki.

Sedangkan quitters bekerja sekadar cukup untuk hidup. Mereka memperlihatkan sedikit ambisi, semangat minim dan mutu di bawah standar. Mereka mengambil risiko sedikit mungkin dan biasanya tidak kreatif. Kecuali saat mereka menghindari tantangan besar. Quitters tidak banyak memberikan sumbangan yang berarti dalam pekerjaan, sehingga mereka merupakan beban bagi setiap perusahaan.

Jadilah climber! Tak apa, meski jumlah orang seperti itu sedikit. Bukan Karyawan Biasa memang bukan buih.***